Ketika berbicara tentang Kementerian Agama (Kemenag), ungkapan yang mencuat dalam pikiran saya adalah “ikhlas beramal.” Bagi saya, frasa ini bukan sekadar rangkaian kata biasa; melainkan mencakup sejumlah nilai yang memuat makna luas. Dari perspektif semiologi, frasa tersebut menjadi tanda sekaligus penanda tugas-tugas yang diemban oleh Kemenag.
Frase ini tidak hanya berfungsi sebagai pedoman tindakan, tetapi juga sebagai monumen kesungguhan dalam setiap program yang dijalankan, sekaligus menjadi simbol komitmen dalam menjalankan peran sebagai kementerian yang bertanggung jawab terhadap urusan agama di Indonesia.
Lebih lanjut tentang Kemenag, melalui tulisan ini, saya hendak mengulas program Pendidikan Islam (profetik pedagogi) yang diimplementasikan oleh kementerian tersebut dan berjalan di sekolah-sekolah formal.
Lewat inisiatif itu, Kemenag berusaha meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam di Indonesia, dengan fokus pada peningkatan kompetensi guru, pengembangan kurikulum relevan, dan penyediaan sarana prasarana yang memadai. Tujuannya adalah membentuk generasi penerus yang memiliki pemahaman kuat terhadap nilai-nilai Islam, didukung oleh dasar pengembangan intelektual serta moral. Sungguh sebuah upaya positif guna membentuk masa depan pendidikan di Indonesia.
Kendati demikian, program Pendidikan Islam Kemenag masih dihadapkan pada tantangan signifikan terkait dengan bias ideologis. Pemisahan yang terlihat antara sains dan wahyu dalam struktur program tersebut dapat membawa implikasi negatif. Hal itu dapat menyebabkan pemahaman agama parsial, terbatas pada sisi spiritual atau ritual, tanpa mencakup relevansi dengan aspek-aspek kehidupan lainnya seperti sains, teknologi, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pemisahan ini berpotensi meningkatkan konflik antara agama dan sains, yang dapat menghambat perkembangan Islam sebagai agama dinamis. Fusi (peleburan) sains dan wahyu dalam pendidikan Islam juga didasarkan pada sejumlah argumen. Inspirasi dari keberhasilan Islam pada masa Andalusia menggarisbawahi bahwa integrasi ajaran Allah dengan sains (filsafat Yunani), terutama dari pemikiran Aristoteles, membawa Islam pada puncak kejayaannya. Kesuksesan dalam menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan konsep-konsep filsafat Yunani mengkonstruksi dasar bagi kelangsungan kekhalifahan Islam yang bersifat holistik.
Pendekatan ini juga dikuatkan oleh aspek keislaman yang menjadi landasan dalam menggabungkan wahyu dan sains. Al-Quran dan Hadis jelas memberikan dukungan untuk mendorong umat Islam agar menggunakan akal sehat. Konsep akal sehat mengajarkan bahwa berpikir adalah jalur menuju pemahaman yang lebih baik mengenai kehidupan, alam, dan tujuan eksistensial manusia.
Mengatasi problematika kesenjangan antara sains dan wahyu dalam program Pendidikan Islam Kemenag, sejumlah solusi konkrit dapat diajukan untuk memastikan integrasi yang lebih baik antara dua aspek tersebut. Pertama, perlu dikembangkan modul pembelajaran yang secara eksplisit mengintegrasikan konsep sains dan wahyu dalam setiap mata pelajaran. Modul ini tidak hanya teori tetapi juga memberikan contoh konkret bagaimana nilai-nilai agama dapat bersinergi dengan prinsip-prinsip ilmiah dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Penyusunan Rencana Pelaksanaan Harian (RPH) yang terintegrasi menjadi langkah praktis untuk memastikan bahwa integrasi antara sains dan wahyu terjadi secara menyeluruh dalam setiap sesi pembelajaran. Adanya RPH yang terstruktur dengan baik dapat menjadi panduan bagi guru dalam menyajikan materi pembelajaran yang menggabungkan aspek ilmiah dan nilai-nilai keagamaan.***
Merayakan Hari Amal Bhakti ke-78 KEMENAG, penerapan solusi-solusi ini bukan hanya rencana semata, melainkan nyata sebagai perwujudan semangat “ikhlas beramal” yang melekat pada KEMENAG. Dengan kolaborasi aktif semua pihak terkait, KEMENAG mampu terus berinovasi, menjadi pelopor dalam membentuk lingkungan pendidikan Islam yang tidak hanya inklusif dan holistik, melainkan juga relevan dengan tuntutan zaman.
Artikel ditulis oleh: Prof. Dr. Rasimin, M.Pd (Wakil Dekan 2 FTIK UIN Salatiga)